Rabu, 03 Oktober 2012
My Bestfriend My True Love
My Bestfriend, My True Love
Sebelumnya, aku tidak pernah tahu makna cinta, karena menurutku yang lebih indah dari semua itu adalah persahabatan. Persahabatan lebih dari apapun, karena mencari sahabat sejati begitu susahnya, seperti mencari sebatang jarum diantara tumpukan jerami. Bersama seorang sahabat kita dapat berbagi cerita tentang kebahagiaan dan kesedihan, bahkan sampai ke hal-hal yang pribadi. Aku sendiri mempunyai seorang sahabat yang sangat kupercaya yang kukenal sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Sorot matanya yang teduh bagaikan cahaya yang menerangi disaat gelap, senyumnya seperti embun pagi yang menyejukkan hati, serta sikapnya yang lembut namun juga mampu tegas dan bijaksana membuat siapapun merasa dekat dengannya. Tapi jangan salah sangka dulu, ia bukan tipe orang yang sangat serius. Ia juga bisa bercanda, dan hanya saat bersamanyalah aku bisa melupakan kesedihan hatiku, walaupun hanya untuk sejenak. Aku banyak belajar dari dirinya, begitupun sebaliknya. Aku merasa sangat nyaman bersahabat dengan seseorang yang kupercayai. Ia selalu ada disaat aku senang, menghibur disaat sedih, dan mengingatkan disaatku lalai. Dulunya aku adalah seorang yang procrastinator alias sering menunda-nunda waktu. Kemudian ia datang dan mengajariku mengenai pentingnya mengatur waktu karena fokus dan tujuan hidupnya selalu berorientasi pada waktu. Ia mampu mengatur, mengelola dan mengorganisir waktunya dengan baik .
“Udah bikin tugas, belom?” tanyanya disaat kami masih berseragam putih abu-abu, tetapi aku hanya menggeleng sambil menatapnya penuh harap.
“Kenapa? Ada materi yang belum dimengerti, ya, Fi?” tanyanya lagi yang membuat senyumku mengembang.
“Ya udah, sini aku ajarin,” lalu dengan sabarnya ia mengajariku tentang tips-tips menguasai rumus hidrokarbon mata pelajaran Kimia. Aku seringkali merasa rendah diri bila mengingat kemampuanku yang belum seberapa kemampuannya bila dibandingkan dengannya.
Beberapa waktu lalu ia mengunjungi rumahku, dan seperti biasanya ia menceritakan banyak hal yang membuatku lupa waktu. Penampilannya sederhana, dan sikapnya terhadapku juga sama seperti biasanya, tak ada yang berubah. Tetapi suasana hatiku yang terlalu bahagia saat itu membuatku bertanya padanya,”Ehem…, tumben rapi banget? Janjian dengan doi, ya?”
Dan saat itulah ia bersemangat menceritakan seseorang yang berhasil mencuri hatinya. Ia mengatakan padaku bahwa ini adalah cinta pertamanya. Aku sangat berharap ia sedang menceritakan diriku, tetapi….
“Kalau kamu sendiri gimana, Fia? Udah punya gebetan juga?”
Hatiku langsung ciut saat ia malah balik bertanya padaku, tetapi aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, bahwa Ayyas, sahabatku itu pasti sedang menguji hatiku. Sementara itu, aku hanya menggeleng sambil berusaha tetap tersenyum, meskipun didalam hati aku merasakan perih yang teramat dalam.
Untuk memastikan siapa gerangan yang sedang ia ceritakan, akupun memberanikan diri untuk bertanya,”Memangnya siapa dia, Yas? Cantik, ya?”
Aku melihatnya hanya tersenyum simpul, seperti orang yang sedang kasmaran. Matanya yang teduh menerawang ke langit-langit ruang tamu rumahku,”dia cantik, dan sifatnya secantik wajahnya. Namanya Bella, teman satu kampus denganku,”
Ayyaspun bercerita mengenai Bella secara detail. Bella adalah tipe wanita yang jauh lebih unggul dibandingku. Secara akademis ia berhasil membawa nama baik sekolahnya saat SMA setelah memenangkan medali emas dalam ajang olimpiade Matematika se-provinsi. Selain itu, ia juga sungguh mempesona karena keanggunan dan kepribadiannya yang sholehah. Aku dapat merasakan panas didalam hatiku, tapi aku berusaha menutupinya. Aku hanya tak ingin dia mengetahui perasaanku, setidaknya sampai beberapa hari.
“Oh….,”hanya itu yang keluar dari mulutku, aku tak dapat berkata apapun lagi.
“Kok itu doang, Fia? Kasih selamat dong, atau apa kek, gitu….?”tanya Ayyas membuyarkan lamunanku.
Kemudian ia menatap mataku, dalam waktu yang relatif lama kami beradu pandang. Ada satu hal yang membedakan kami yaitu ia menatapku penuh tanda tanya, sedangkan aku menatapnya tajam. Herannya, Ayyas sama sekali tidak marah, ia malah mengeluarkan jurus andalannya yaitu tersenyum manis sambil memasang wajah lucu. Akhirnya kali ini aku menyerah, dengan setengah hati aku menuruti permintaannya,”Selamat ya, Yas. Mudah-mudahan jadi keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah…,”
“Hahahaha!!! Hari gini kamu masih sempet-sempetnya bercanda, ya, Fi.., kami kan belum married, hahaha….!” tawanya.
Aku manyun. Sementara itu ia bingung melihat perubahan sikapku yang boleh dikatakan drastis.
“Hmmm…, tadi ketawa, sekarang kok manyun?”
“Gak tau…,”sahutku ketus.
“Jangan gitu donk, sobat…., ntar kesambet, lho….,”kilahnya sambil memasang wajah lucu yang membuatku tak dapat lagi menahaan tawa.
“Nah, gitu dong. Senyum dikit…, kan keliatan cantiknya,”ia mulai merayuku lagi. Aku sendiri tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Sejujurnya aku ingin marah, tetapi aku tak ingin memarahinya hanya karena perasaanku, karena itu berarti aku ingin menang sendiri. Namun anehnya, di hatiku terbersit sebuah rasa senang yang sulit kuungkapkan saat ia berujar seperti tadi. Aku tak ingin menghancurkan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun hanya karena rasa ‘aneh’ ini.
“Anyway, gimana kuliahmu, Fi? Kapan ujian semesteran?”
“Dua minggu lagi,”jawabku singkat.
“Gak nanya balik? Biasanya kamu nanya balik ke aku…?” tanyanya.
“Ok…, kalau kamu?” tanyaku sambil memandangnya sekilas.
“Kalau aku seminggu lagi. Doakan ya, semoga lancar,”
“Aamiin,”jawabku singkat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi didalam hatiku, seolah ada rasa yang ingin memberontak, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus mengungkapkannya.
Ia melirik jam tangannya, saat itu memang sudah sore. Iapun pamit.
“Fi, aku pulang dulu, ya, Insya Allah kalau ada waktu aku kesini lagi. Masih ada banyak hal yang belum sempat aku ceritakan. Assalamu’alaikum,” pamitnya sambil melangkah keluar.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku pelan. Didalam hati aku benar-benar gusar. Untuk apa dia menceritakan ‘seseorang spesial’nya itu kepadaku? Untuk memanas-manasi hatiku? Atau untuk memamerkan padaku? Aku sungguh tak mengerti, aku merasa ia telah berubah dan tak lagi seperti Ayyas yang dulu kukenal.
Dan sejak saat itulah aku tak lagi bertemu dengannya. Janji hanya tinggal janji. Dulu ia mengatakan padaku masih banyak hal yang ingin ia ceritakan, tetapi sampai sekarang ia tak pernah menepatinya. Malam ini tepat tiga bulan setelah kejadian tersebut, dan sejak itulah kami tak lagi saling berkomunikasi. Hari-hariku menjadi sepi tanpanya, namun aku mencoba kuat. Ingin rasanya aku kembali menghubunginya, tetapi aku tahu hal tersebut akan menjadi sia-sia. Ia tidak pernah sekalipun peduli mengenai perasaanku, ia tidak pernah tahu, bahkan tidak pernah mempedulikan arti sebuah rasa yang telah lama tersimpan di hatiku. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjatuhkan pilihanku padanya, jujur aku tidak pernah memimpikannya menjadi pangeranku. Tetapi entah mengapa tiba-tiba saja rasa itu hadir ditengah seringnya intensitas kebersamaan kami. Ia menjelma menjadi seseorang yang menghapus luka disaat diriku sedih, menolongku untuk bangkit disaat aku terjatuh, dan mendukungku disaat senang, aku tahu seharusnya aku mengabaikan saja semua ini, karena aku tahu dia dan aku berbeda.
Ya, berbeda. Ia jauh lebih unggul dibandingkan aku. Ia memiliki segalanya, sedangkan aku? Aku ini bukan siapa-siapa, hanya seorang mahasiswi biasa yang tidak sepopuler dia. Dalam bidang akademis, aku juga harus mengaku kalah. Ia menjadi tumpuan harapan teman-temannya disaat ujian. Biasa deh, jadi sesepuh, hehe. Namun bukan itu hal yang membuat aku mengaguminya. Menurutku ia lebih dari sekedar seseorang yang baik. Sama seperti yang kujelaskan tadi, Ayyas adalah orang yang bijaksana dan bertanggungjawab. Aku merasa ada medan magnet yang tak mampu kutarik dari hatinya. Sebuah asa yang nyaris kugapai ternyata harus pupus begitu aku mendengar cerita darinya.
Satu hal yang masih tidak bisa kupahami adalah, mengapa aku menjatuhkan pilihan padanya? Padahal sudah begitu banyak lelaki yang menyatakan perasaannya padaku, mulai dari yang malu-malu tapi mau, hingga menyatakan langsung alias to the point. Mulai dari seseorang yang biasa saja hingga yang luar biasa dan bertalenta. Tetapi itu semua masih saja belum cukup untuk memudarkan perasaanku padanya. Aku tidak tahu entah magnet apa yang ada didalam hatinya, sebuah magnet yang berhasil menarik hatiku. Aku tidak tahu hal apa lagi yang hendak disampaikannya padaku, mungkin saja ia sudah lupa, bahkan mungkin saja sama sekali ia sudah tidak mengingatku lagi.
Nggak, nggak mungkin, aku yakin pasti dia sedang mengingatku juga disana, walaupun hanya sekilas. Dalam keheningan malam ini aku hanya bisa berdoa, mudah-mudahan Allah memberikan jalan yang terbaik untukku, apapun itu.
Berbicara mengenai Bella, aku memang belum mengenalnya, apalagi melihat wajahnya. Tetapi setelah mendengar cerita Ayyas itu, aku mengambil kesimpulan bahwa aku memang bukanlah orang yang tepat untuknya. Mulai saat ini aku tak ingin mengingatnya lagi. Tak ada gunanya mengharapkan seseorang yang tidak pernah mempedulikan diriku. Biarlah ia bahagia bersama pilihan hatinya, dan aku juga akan bahagia untuk itu. Setiap manusia memiliki jodohnya masing-masing. Aku yakin tulang rusuk tidak akan pernah tertukar dengan pemiliknya dan akan dipertemukan kembali pada saat yang tepat. Aku akan sangat bersyukur bila ia adalah jodoh yang ditakdirkan Allah swt untukku, namun bila kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya, aku akan berusaha ikhlas dan mendoakan yang terbaik untuknya. Terkadang hal yang kita inginkan dan harapkan berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Setiap fase kehidupan yang kita lalui di dunia ini pasti ada hikmahnya. Dibalik semua kejadian yang terjadi saat kita lahir, dewasa, hingga ajal menjemput memiliki hikmah tersendiri. Aku sendiri baru saja melewati fase kehidupan mengenal arti cinta. Aku mengerti cinta itu adalah sebuah rasa yang tak dapat dipaksakan. Kita tidak dapat melarang atau memaksakan seseorang untuk menjatuhkan pilihan hatinya kepada kita, hanya saja tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Pada dasarnya cinta terbagi dua, cinta karena mengharap ridho Allah dan cinta berlandaskan nafsu semata. Aku berharap semoga aku tidak menjatuhkan pilihan hati kepada seseorang hanya karena fisik dan hartanya, karena yang lebih kekal daripada itu adalah hati dan keimanannya.
Aku melirik ponselku yang terletak diatas meja, dan ternyata hasilnya masih sama seperti hari-hari kemarin sejak kejadian itu. Tidak ada BBM yang biasanya membangunkan aku saat dini hari untuk mengingatkan tahajud, dan juga tidak ada missedcall darinya yang terkadang membuatku kesal sekaligus senang. Kesal karena ia berhasil mengerjaiku ditengah malam sekaligus senang karena ia mengingatkanku untuk bertahajud cinta.
Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Disaat aku sedang online di akun YM, Gtalk atau Skype pun hasilnya akan nihil. Ia benar-benar sudah melupakan aku. Itulah kenyataan yang menghujam perasaanku.
Pagi ini mentari bersinar cerah. Aku ingin seperti mentari yang tak pernah ingkar janji untuk selalu menghangatkan bumi dengan sinarnya. Kini aku telah terbiasa tanpa kabar darinya. Sambil bersenandung kecil, aku mempersiapkan diri untuk berangkat kuliah. Aku ingin menjadi seperti Fia yang dulu, menjadi seseorang yang periang dan bersemangat menjalani hari-hari. . Aku tidak ingin dia tahu tentang perasaanku ini, perasaanku padanya cukup kusimpan dan kututup rapat-rapat di relung hatiku yang terdalam. Sekarang aku berusaha untuk tidak menodai persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun, walau terkadang batin ini sering bertentangan dengan ucapanku.
Ponselku tiba-tiba berdering. Sebenarnya aku malas untuk mengangkatnya, tetapi firasat hati ini membuatku melangkah mengambil ponsel yang terletak diatas meja. Kulihat nama yang tertera dilayar ponsel. Sebuah nama yang sudah tiga bulan ini tidak pernah muncur di layar ponselku. Perasaanku langsung berubah tak menentu begitu membaca nama yang tertera. Ada apa sebenarnya yang terjadi? Mengapa tiba-tiba Ayyas menghubungiku?
“Halo, assalamu’alaikum….,” sapa Ayyas.
Aku terdiam cukup lama untuk membalasnya,”Wa…, wa’alaikumsalam,”
“Heiii…, apa kabar, Fia? Udah kelar, kan, ujian semesterannya?”
Tanpa merasa bersalah sedikitpun ia menanyakan pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.
“Sekarang ini aku sudah mid semester selanjutnya, mengapa masih menanyakan ‘ujian semesteran’ lagi? Memangnya dia belum mid semester, apa?” gumamku dalam hati.
“Fia, aku mau curhat lagi nih, boleh, kan….?” tanyanya santai.
Aku membalasnya dingin,”Boleh. Tanyain aja,”
“Lho, kok ketus gitu sih jawabannya…? Kemana Fia-ku yang dulu? Yang lembut, manis, penuh ceria dan optimis?”
“Fia yang dulu udah meninggal!”
“Astaghfirullah, Fia.., pamali ngomong gitu…, jadi ngambek nih, ceritanya….?”
Aku hanya diam seribu bahasa.
“Hm…, ok, ok, aku ngaku salah. Aku minta maaf banget ya, Fia, karena udah tiga bulan ini nggak menghubungimu. Maklum, sindrom mahasiswa, apalagi mahasiswa tingkat akhir kan banyak galaunya. Yah sekalian juga sibuk sama si doi…, hehehehe….,”
Mendengar kata-kata itu aku berusaha mencairkan suasana,”Ok, aku maklum kok. Iya deh, orang penting pasti sibuk banget, ya? Sampai-sampai untuk menghubungi akupun nggak sempat,”
“Ya…, kan aku udah minta maaf…? Forgive me, please, Fia….,”
Ayyas mulai mengeluarkan jurus yang cukup ampuh untuk meredam emosiku.
“Ok…, katanya kamu mau curhat? Curhat apa, Yas?” tanyaku.
“Ng…, ini bukan curhat sih, Fi. Sebenarnya aku ingin meminta penilaianmu sebelum aku melangkah lebih serius lagi dengan Bella. Kapan kita bisa ketemuan? Kan kamu udah lama nggak jumpa denganku?”
Aku berpikir sejenak, dan teringat besok aku tidak ada jadwal kuliah,”gimana kalo besok aja, Yas? Besok aku free, jadi kita bisa ketemuan,”
“Wah, sama dong, Fi. Besok aku juga free. Gimana kalo di tempat biasa? Tempat yang sering kita kunjungi dulu bareng teman-teman se-gank?”
“Ok. Besok ba’da Ashar kita ketemuan di tempat biasa,” tutupku.
Batinku menjadi tak menentu, aku mencoba menerka-nerka, kira-kira apa yang hendak disampaikan Ayyas.
Setelah menutup pembicaraan, akupun bersiap-siap berangkat ke kampus. Sekarang sudah jam 8 pagi, namun tiba-tiba langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung, seakan-akan ikut merasakan kesedihan yang ada di hatiku. Ya Allah, kuatkan hatiku. Aku tak ingin dia tahu perasaanku yang sebenarnya, cukup hanya Engkau yang Maha Mengetahui isi hati yang tersirat dan tersurat ini.
Aku bahkan ragu untuk menyetir menuju ke kampus karena aku tak yakin mampu menyetir dalam cuaca dan hatiku yang tak menentu seperti ini. Lalu bagaimana dengan presentasiku pagi ini? Sekarang adalah giliran kelompokku untuk mempresentasikan perbandingan software aplikasi, sejak jauh-jauh hari aku mengunduh beberapa software aplikasi yang menurutku menarik untuk ditinjau kelebihan dan kekurangannya. Bila aku tidak datang, tentu saja itu merugikan aku dan juga teman-temanku sesama anggota kelompok.
Akhirnya tanpa pikir panjang lagi aku berangkat ke kampus, lalu mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja. Di tengah perjalanan aku masih mengingat dengan jelas saat-saat kebersamaan kami di SMA dulu.
Aku memutuskan untuk melewati jalan pintas agar cepat sampai di kampus. Aku melewati sebuah gang kecil yang hanya cukup untuk satu arah. Disaat aku berbelok ke kiri menuju jalan utama yang memiliki satu jalur dua arah, tiba-tiba dari arah depan aku melihat sebuah truk yang melaju kearahku. Truk itu keluar dari jalur yang seharusnya, entah apa penyebabnya aku tidak tahu. Akupun tidak tahu apa-apa lagi karena semuanya berubah gelap….
“Fia kemana sih? Kok lama banget datangnya?” tanya seorang mahasiswi kepada teman disebelahnya. Mahasiswi yang duduk disebelahnya menggeleng,”gak tau juga, Mel. Biasanya kan dia yang lebih duluan datang ketimbang kita…, kenapa nggak ditelepon aja?” usul mahasiswi tersebut. Mahasiswi yang ternyata bernama Mela itupun berinisiatif menghubungi ponsel Fia. Sesaat kemudian ia menyerah karena sudah tiga kali ia mencoba untuk menghubungi, tetapi panggilannya tak kunjung dijawab. Mela memandang sahabat yang duduk disebelahnya,”Gak dijawab, Fan. Apa mungkin masih di jalan?” gumamnya pelan.
“Tapi ini sudah duapuluh menit, Mel. Nggak biasa-biasanya Fia itu telat,” ujar Fany, khawatir.
“Santai aja, Fan, Insya Allah ntar lagi dia sampai, kok. Kita kan mau presentasi…, tahu sendiri Fia itu tipe orang perfeksionis? Dia pasti ingin menampilkan yang terbaik untuk kelompok kita….,” hibur Mela.
“Hmm., ya udah deh, kalo gitu kita tunggu aja. Tapi kalo dia nggak datang, gimana nasib presentasi kita hari ini?”
Mela menatap Fany agak lama. Ia berpikir sejenak lalu berujar,”terpaksa deh, minggu depan,”
Ternyata dugaan mereka benar. Fia tidak datang. Kedua sahabatnyapun bertanya-tanya, apakah mungkin Fia sakit? Atau karena cuaca yang sedang tidak bersahabat membuatnya malas datang ke kampus? Hingga jam kuliah usai, kedua bersahabat itu bergantian menghubungi Fia. Saat Mela mencoba menghubungi untuk yang kesekian kalinya, akhirnya ponselpun dijawab, namun suara yang terdengar bukanlah orang yang mereka cari, melainkan petugas rumah sakit yang memberitahukan bahwa Fia sedang berada disalah satu rumah sakit dalam keadaan kritis. Mela menutup ponselnya dengan perasaan yang tak menentu.
“Fia di rumah sakit….,”gumamnya.
“Siapa yang sakit? Orangtuanya, Mel?” tanya Fany, cemas. Mela menggeleng,”Sebaiknya kita kesana…,”
Mereka berdua lalu menuju ke sebuah rumah sakit tempat Fia dirawat dan ternyata ia berada di UGD. Didalam ruangan itu tampak seorang dokter bersama perawat sedang menangani Fia. Mela dan Fany hanya bisa menahan sedih dibalik jendela. Beberapa menit kemudian, Ayyas datang.
“Maaf, apakah kalian berdua temannya Fia?” tanya Ayyas. Mela dan Fany mengangguk.
“Bagaimana keadaan Fia? Dd…., dia kenapa…???” tanya Ayyas.
“Masih belum tau juga. Kamu sendiri siapanya Fia?” tanya Mela yang membuat Ayyas gelagapan,”Ng…, saya teman sekolah Fia….,”
Suasana kembali hening. Sesaat kemudian dokter keluar dari UGD. Dengan wajah yang terlihat agak tegang dokter tersebut berujar,” Fia kehilangan cukup banyak darah. Ia membutuhkan donor. Ada yang bergolongan B positif?”
“Golongan darah saya juga B positif, Dokter, ambil saja darah saya…,”ucap Ayyas. Beberapa saat kemudian bayangan Fia melintas di pikirannya, semua kenangan yang ada bercampur menjadi satu. Ayyas menjadi merasa sedih. Apakah ia salah bila mengenalkan Bella kepada Fia yang notabene merupakan sahabatnya sendiri? Seingatnya Fia hanya menganggapnya sebagai sahabat dan tidak pernah lebih dari itu, meskipun didalam hati Ayyas pernah tersimpan sebuah rasa yang lebih untuk Fia.
Ayyas mengikuti dokter tersebut untuk menuju ke sebuah ruangan untuk mendonorkan darah. Didalam hatinya, ia berharap dan mendoakan yang terbaik untuk Fia, sahabatnya.
Alat pemantau detak jantung yang terletak disamping Fia membuat hati Ayyas menjadi tak menentu. Ayyas yang berdiri diluar ruangan, mengintip dari balik jendela dan mencemaskan keadaan Fia, namun ditutup-tutupinya dengan berusaha tegar. Ayyas tak ingin memperlihatkan kesedihannya. Ia ingin menjadi seseorang yang kuat menerima apapun yang terjadi dalam hidupnya.
“Maaf, apakah Anda keluarganya Fia?” tanya seorang perawat yang menghampiri Ayyas. Ayyas menoleh kearah perawat tersebut,”Saya temannya….,”
“Di mobil Fia kami menemukan ini…,” perawat itu menyodorkan sebuah komputer tablet kepada Ayyas. Ayyas menerima dengan bimbang.
”permisi,” ujarnya lalu pamit keluar.
Merasa penasaran, Ayyaspun menghidupkan tablet PC tersebut . Tampak wallpaper Fia muncul di home screen layar. Wajah yang membuat Ayyas senang sekaligus sedih. Senang karena bisa melihat wajah itu tersenyum di layar monitor, sekaligus sedih karena Ayyas tak dapat berbuat banyak demi Fia saat ini. Saat sedang melamun, secara tak sengaja jari Ayyas menyentuh Catatan, dan terbukalah sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan.
Dear my notes,
Aku tak dapat menjabarkan apa yang sedang kurasa, hanya disinilah aku mengungkapkan semuanya. Semua yang ada di pikiranku, di jiwaku, bahkan di relung hatiku. Aku akan mengatakannya secara harfiah, se-mu-a-nya.
Dear my notes,
Apa kabar dirinya saat ini? Aku hanya ingin mengetahui keadaannya. Lama tak berjumpa setelah pertemuan terakhir beberapa waktu yang lalu. Ya, mungkin saja itu yang terakhir, walaupun sebenarnya aku tidak menginginkan pertemuan saat itu menjadi yang terakhir. Aku ingin melihatnya lagi, melihat pancaran sinar matanya yang lembut dan meneduhkan dan mendengarkan nasihatnya yang membuatku termotivasi.
Tetapi entah mengapa aku merasa pertemuan beberapa waktu yang lalu adalah pertemuan kami yang terakhir. Ia sudah menemukan seseorang yang tepat, dan itu bukan aku. Aku akan ikut berbahagia untuknya. Aku akan mendoakan yang terbaik baginya karena setiap tulang rusuk telah ditakdirkan untuk bertemu sesuai dengan pemiliknya.
Dear my notes,
Bila ada mentari yang bersinar di langit, pasti akan ada pula hujan yang jatuh membasahi bumi. Bila ada kebahagiaan, pasti juga ada kesedihan yang mengiringi. Kesedihan yang menjadikan diri kita menjadi lebih tegar dan kuat. Kesedihan yang menempa kita menjadi mandiri dan mampu menghadapi hidup.
Dear my notes,
Aku ingin menyampaikan pada ‘dia’, bahwa jika suatu saat ia ingin menangis, hubungi aku, ku berjanji akan membuatnya tersenyum. Jika suatu saat ia tak ingin mendengarkan siapapun, hubungi aku, kuberjanji akan diam menemaninya. Jika suatu saat ia belari untuk menghindar, hubungi aku, maka aku akan menemaninya hingga ia lelah dan berhenti. Tetapi bila suatu saat ia menghubungiku, namun tak pernah ada jawaban, aku berharap ia datang untuk melihatku, karena aku sudah tak ada lagi di dunia ini, dan yang masih tertinggal hanya batu nisanku.
Dear my notes,
Sungguh aku turut berbahagia dan aku selalu mendoakan yang terbaik untuknya. Kali ini aku hanya ingin menyampaikan salam untuknya melalui semilir angin. Namun aku tidak tahu apakah angin membawa salamku sampai ke tujuannya…
Mata Ayyas berkaca-kaca, mengapa Fia begitu tertutup padanya? Khayalannya kembali pada Fia yang kini sedang terbaring lemah. Terbersit sebuah rasa terhadap seseorang yang telah lama berada di hatinya, meskipun ia tak pernah mengungkapkannya.
“Seandainya kamu tahu, Fia…, aku sengaja memperkenalkan Bella kepadamu, aku berharap kamu akan cemburu. Tetapi ternyata kamu terlalu pandai untuk menutupi perasaanmu yang sebenarnya. Aku berharap mungkin dengan cara ini, aku dapat meminta maaf padamu dan masih ada kesempatan untukku menyampaikan perasaanku…,”
Tiba-tiba , dokter membuka pintu ruangan ICU.
“Maaf, apakah Anda keluarga Fia?”
“Ss…, saya temannya, dok…,” jawab Ayyas, berbarengan dengan Mela dan Fany.
“Dokter tersebut terdiam sejenak,”Maaf, kami dari tim dokter sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ternyata Sang Pemilik Kehidupan lebih menyayanginya daripada kita. Dia telah pergi….,”
Ayyas terduduk lemas, tanpa disadari butiran bening membasahi pipinya,”Mengapa kamu meninggalkanku begitu cepat, Fia? Disaat aku ingin mengungkapkan semuanya….,”
***
Jika dunia tidak merestui cinta kita, biarlah di alam sana nanti kita bersama,
Tunggu aku di pintu surga,
Sahabatku, Cinta sejatiku….
THE END
Cerpen Karangan: Cyintia Kumalasari
Blog: cyintiakumalasari.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar